Barangkali hidup adalah tentang pengabdian, maka biar saja aku ini abadi dalam ramainya taman kota. Tak pernah bisa kuhitung jumlah orang yang mendudukiku, sebab mereka berlalu-lalang silih berganti. Siang dan malam selalu saja ada yang berkunjung, seolah hanya bangku tamanlah yang membuat mereka punya malaikat pelindung.
Sejak
mendalami profesi bangku taman ini, kutemui banyak muda-mudi yang mengunjungi.
Bahkan kutahu hampir seluruh kisah cintanya. Bagaimana tidak, setiap mereka
berkunjung ke taman kota, ia akan duduk di atasku atau di atas temanku. Mereka
datang dengan sukacita, pulang pun dengan raut bahagia. Tak jarang juga
kusaksikan akhir kisah cinta mereka yang sia-sia, sampai-sampai salah satu dari
mereka ada yang menangis sesenggukan.
Namun, ada dua orang yang selalu membuatku
senang bukan kepalang ketika mereka duduk di atasku. Satu adalah perempuan
dengan kulit yang tidak terlalu hitam, tidak juga terlalu putih. Ia memiliki
perawakan yang tidak terlalu tinggi, namun tidak juga pendek. Di matanya selalu
terpancar binar kebahagiaan, meskipun sesekali kudengar keluhannya yang
terpendam. Satu lagi adalah laki-laki dengan kulit putih pucat. Matanya sipit,
sehingga jika ia tersenyum, yang terlihat hanyalah garis tipis di matanya.
Mereka adalah dua orang yang kutahu saling menyukai, tapi memilih bungkam
karena ego di antara mereka masihlah sama-sama tinggi. Mereka adalah pengunjung
setiaku di waktu yang berbeda. Si Perempuan mengunjungiku saat tepat pukul dua
siang, dan si Laki-laki mengunjungiku setelah perempuan itu beranjak pergi.
Sebut saja mereka adalah Saka dan Rara.
Menyaksikan Saka dan Rara adalah hiburanku
selama terpaku diam di tengah ramainya taman kota ini. Betapa dua remaja di
akhir SMA-nya itu selalu membuatku ingin berbicara lantang bahwa mereka harus
segera menyatakan perasaan masing-masing. Namun, lagi-lagi aku harus tetap
membisu sambil menyaksikan mereka kepayahan menyimpan perasaan. Rumit sekali
kisah cinta mereka ini.
Pernah sekali kudapati Rara menulis beberapa
bait puisi. Diksi-diksinya seolah diciptakan langsung dari surga, sebab hanya
dengan mengintipnya dari balik punggung gadis itu aku sudah terkagum-kagum.
Rima setiap baitnya tak perlu diragukan lagi, sebab saat kucuri pandang membaca
puisinya, seolah mutiara di parung laut terdalam tetiba muncul ke permukaan.
Lega sekali saat kutahu bahwa puisinya itu ditulis karena hatinya sedang
berbunga-bunga. Dalam keterangannya ditulis, Terima kasih, Saka, mengenalmu
bukanlah sebuah penyesalan. Meskipun kuharus bisa menahan segala perasaan.
Lain lagi dengan Saka. Kutahu ia adalah
seorang yang tidak banyak berkata-kata. Namun, selalu kudapati ia tersenyum
sendiri saat duduk di atasku. Ia menyandarkan bahunya, lalu membuka telepon
genggamnya. Dibukanya menu galeri dan memutar video Rara yang sedang
memarahinya. Aneh sekali ia malah tersenyum sedangkan ia sedang kena damprat
dari Rara.
“Bodoh! Ia sedang jatuh cinta!” begitulah
kata temanku saat kutanyakan padanya kenapa Saka seperti itu. Ah, aku
benar-benar tidak tahu-menahu soal rasanya jatuh cinta, sebab jenis kelaminku
saja aku tak tahu. Huh!
Hari-hari berlalu dan mereka tetap
mengunjungiku. Mereka tetap membawa segumpal perasaan itu tanpa tahu kapan akan
diungkapkan. Lalu sampailah aku pada hari perpisahan itu. Kudengar Saka akan
melanjutkan studinya ke luar kota. Surabaya, katanya. Tak tanggung-tanggung
ternyata. Kudengar lagi hatinya memang berat meninggalkan Jakarta yang telah
lama ia tinggali ini, tapi impiannya jauh lebih penting. Ditanggalkannya
perasaan pada Rara dan tak dibawanya melanglangbuana hingga ke Surabaya. Ia
khawatir tidak akan fokus pada studinya nanti.
Sedang Rara akan menetap di Jakarta,
melanjutkan hidupnya yang baru. Kampusnya tidak terlalu jauh, sehingga katanya
ia tetap bisa berkunjung padaku seusai kuliahnya selesai. Lega sekali rasanya.
Namun, ia tetap saja bersedih, sebab Saka-nya itu akan jauh sekali dari
pandangan. Ia tak akan bisa lagi melihatnya di kelas, bersaing ketat, ataupun
saling melempar lelucon. Ia kehilangan Saka bahkan saat belum sempat memilikinya. Mendengar dan mengetahui kenyataan itu aku jadi sedih.
Lalu teman-temanku langsung memarahiku.
“Hey, dia itu manusia! Berbeda dengan kita.
Kenapa kau harus bersedih seperti itu?”
“Tak tahulah. Kau kan tak pernah mengerti
rasanya menjadi pendengar kisah mereka berdua.”
“Hey, lalu yang selalu kauceritakan saban
malam itu kisah siapa? Kisah kuntilanak dan pocong keliling?”
“Lantas, kau mengetahui kisah mereka, tapi tak
sedikit pun merasa kasihan.”
“Kau terlalu terbawa perasaan. Istilah masa
kininya apa, ya? O ya, lemper!”
“Hei, kau salah! Bukan lemper, tapi pamer!”
kata temanku yang lain.
Aku malah tertawa mendengarnya, “Diam kalian!
Jawabannya salah semua. Harusnya baper!”
Lalu kesedihan karena perpisahan mereka
menguap begitu saja, meskipun setiap hari aku tak pernah absen berharap Saka
dan Rara mengunjungiku di waktu yang bersamaan, bukan secara bergatian seperti
yang dulu sering mereka lakukan.
Tahun-tahun berlalu dan usiaku hampir menua.
Sudah beberapa kali tukang cat mewarnaiku kembali dengan warna yang disediakan
pemerintah kota untukku. Bahkan karena kerusuhan yang pernah terjadi bulan
lalu, salah satu temanku harus diungsikan untuk diperbaiki. Ia mendapat luka paling
parah dengan dua kaki bagian depannya patah sempurna. Lalu penyangga bahu yang
dimilikinya pun berserakan di mana-mana. Kudengar tangisan sesaknya, tapi tak
ada dari kami yang kuasa membantunya. Untunglah para petugas taman cekatan sekali
membantunya. Namun, sampai kini ia bahkan belum kembali, tanda-tanda
penggantinya pun tak pernah dimunculkan. Sambil harap-harap cemas, aku mengutuk
mereka yang berani sekali melakukan kerusuhan di taman kota yang jauh dari kata
asri ini.
Keadaan pun cepat berubah. Rara jadi jarang
bahkan tidak pernah mengunjungi taman ini lagi. Lalu harapan agar mereka
bersatu kian memudar terkikis oleh keadaan.
“Hey, dia kan kuliah. Pastilah sibuk dengan
banyak kegiatan. Kau ini ada-ada saja,” kata temanku saat aku mengeluh soal
Rara.
“Lagian, ia juga pasti lelah kalau setiap hari
harus ke taman. Lebih baik mengerjakan tugas atau rebahan di dalam kamar,” kata temanku
yang lainnya.
“Ah, kenapa kalian begitu tahu soal kehidupan
kuliah? Bukannya kalian sama denganku? Yang terpaku diam di taman kota ini?”
tanyaku heran.
“Karena pengunjungku bukan Saka dan Rara yang
membuatmu bodoh. Hahaha...”
“Sialan kalian,” umpatu kesal. Tapi, ada
benarnya juga, sih. Huh!
Pengunjungku kian beragam, tapi Saka dan Rara
tak pernah lekang dalam ingatan. Sampai akhirnya harapan itu menjadi kenyataan.
Ya, Saka dan Rara akhirnya bertemu di waktu yang bersamaan. Bukan lagi secara
bergantian yang sering mereka lakukan. Senang hatiku bukan buatan! Teman-teman
di sekelilingku juga bertanya keheranan.
“Hai, kukira kau tak ada di sini, Saka,” ucap
Rara yang sudah tanggung berdiri di depanku. Kutahu itu adalah pernyataan yang
bohong, sebab ia selalu melihat Saka duduk di bangku ini, seusai ia
meninggalkan taman.
“Kau juga sering ke taman ini? Tapi, kok tidak
pernah kulihat?” benar saja, Saka mengucapkan kalimat palsu. Padahal,
jelas-jelas ia yang memilihku karena Rara sering duduk tepat di atasku. Huh,
manusia penuh kebohongan!
“Kau apa kabar, Ra? Sudah lama ya tidak
bertemu.”
“Baik-baik saja. Kau Saka, bagaimana?”
“Aku sedang mengumpulkan keberanian.”
“Untuk apa?”
Masih kupantau percakapan dua manusia ini.
Teman-temanku yang penasaran sengaja mencuri dengar dengan seksama.
“Untuk menyatakan perasaan pada seseorang yang
telah lama kusukai.”
“Kalau begitu, kau harus segera mengungkapkannya,
Saka. Sebab kesempatan tak pernah datang dua kali!” ucap Rara bersemangat.
Kami, bangku taman yang menyaksikannya, semakin dibuat penasaran.
“Kalau begitu, baiklah. Aku menyukaimu, Ra.
Bahkan saat kau selalu memarahiku karena aku menjahilimu di kelas, aku tetap
menaruh hati padamu. Kukira dengan pergi jauh ke Surabaya akan menghilangkan
rasaku padamu. Tapi, nyatanya perkiraanku salah besar. Semakin hari, perasaan
itu semakin menjadi-jadi. Sampai akhirnya, aku berani mengungkapkannya padamu saat
ini.”
Duarrr!!! Saka benar-benar mengungkapkannya.
Kami yang sedari tadi tidak sabaran ingin mendengar kalimatnya selesai,
akhirnya mendapatkan kelegaan. Begitu lega sampai lupa mendengar jawaban Rara. Ah,
paling juga Rara menerimanya, pikirku optimis.
“Benarkah, Saka?” Saka dengan cepat
mengangguk. Menyakinkan gadis itu dengan senyuman di bibirnya.
“Seperti kataku tadi, kesempatan tidak datang
dua kali.”
“Apa maksudmu, Rara?”
Bukan hanya Saka yang penasaran akan
pernyataan itu, kami juga bertanya-tanya keheranan mengapa Rara menyatakan hal
seperti itu.
“Jika dulu atau seminggu lalu kau mengatakan
hal itu, mungkin jalan ceritanya akan berbeda. Kau harus tahu, Saka. Aku juga
menyukaimu, bahkan saat kau membuatku cidera dalam olahraga basket kala itu,
rasa sukaku padamu tak sedikit pun memudar.”
“Aku menyukaimu. Dan kau pun demikian. Lalu,
apa yang membuatmu ragu? Apa yang membuatmu berkata seperti itu?” Saka
menyerbunya dengan berbagai pertanyaan, seolah mewakili kami yang sedang di
ambang batas kesabaran.
“Aku sudah bertunangan, Saka. Dua hari sebelum
kau menyatakan perasaanmu hari ini. Aku sudah memohon untuk mengulur waktu,
berharap agar yang melamarku adalah dirimu. Ternyata kau memang datang, Saka.
Tapi, waktumu kurang tepat.” Rara menyelesaikan kalimatnya sambil menatap Saka,
sungguh kekecewaan tergambar jelas di mata mereka.
“Jadi, kesempatan buatku benar-benar tidak
ada, Ra?” ucapnya dengan penuh permohonan.
“Tidak, Saka. Sebaiknya kau lanjutkan hidupmu
dan berbahagialah. Semesta tidak menggariskan kebersamaan dalam takdir kita.”
Rara mengucapkannya dengan air mata yang terjatuh, tapi tidak sampai terisak.
“Baiklah, kau juga harus bahagia, Ra.”
Dan selesailah kisah Saka dan Rara yang
kuharap memiliki akhir bahagia itu. Cerita mereka selesai, tapi tidak dengan kegundahan
dan kesedihanku. Sampai-sampai teman yang selalu mengejekku karena terlalu
terbawa dalam kisah mereka, ikut-ikutan dirundung kesedihan.
“Ternyata ada yang lebih menyesakkan dari
memendam perasaan, ya.”
“Memangnya apa itu?”
“Perpisahan.” Menagislah kami berdua kala itu,
sampai bangku taman yang jaraknya jauh pun mendengar tangisan kami.
Meski belum sembuh dari rasa sakit akibat
perpisahan mereka, aku kembali menjalani hari seperti biasanya. Menyaksikan
orang-orang yang berlalu lalang di dalam taman. Ah, jadi manusia ternyata rumit
juga, ya. Lebih baik jadi bangku taman saja selamanya.
Posting Komentar