Tidak pernah ada seorang pun yang menginginkan masa depannya menjadi suram. Termasuk Astamaya Jingga yang kini berada di penghujung usia dua puluh sembilan tahunnya. Ia tidak pernah menyangka bahwa proses menjadi dewasa semenyeramkan ini. Hari-hari setelah ia lulus kuliah seolah terasa berat sekali. Kegagalan, penyesalan, jatuh-bangun, hingga tuntutan seolah menjadi santapan sehari-harinya.
Perbedaan persepsi dengan orang di sekitarnya mungkin menjadi hal yang membuatnya tertekan. Baginya, masa depan adalah masa yang panjang, tidak hanya seputar masa ketika ia lulus kuliah dan sebelum menikah. Namun, orang-orang di sekitarnya menganggap bahwa orang yang tidak mendapatkan pekerjaan setelah ia lulus kuliah adalah orang yang gagal. Sempoyongan Jingga dibuatnya.
Berbeda halnya dengan Mak Nining, ibu Jingga, yang tak
pernah mempermasalahkan anaknya mau bekerja apa. Ia selalu mendukung apa pun keputusan Jingga, sebab ia
percaya bahwa hal-hal baik memerlukan waktu. Maka, kepada Mak Nining-lah Jingga
serahkan segalanya, termasuk hidupnya.
“Jingga, kau tak perlu dengarkan omongan orang-orang itu.
Kau tetaplah menjadi anakku yang selalu membanggakan,” ujar Mak Nining suatu
sore usai mendapati para tetangga yang sedang menggunjingkan anaknya.
“Tapi, Mak, aku belum bisa membahagiakan Emak. Memberi Emak uang pun aku tak bisa.”
“Ah, kau tak perlu memikirkan hal itu. Berbakti kepada
orangtua tak melulu soal uang, Nak.”
Benar juga apa yang dikatakan Mak Nining itu. Semua orang memiliki jalannya masing-masing dalam berbakti kepada orangtua. Bahkan Tuhan pun memberikan rezeki tidak selalu menyoal uang. Namun, lagi-lagi, omongan para tetangganya itu semakin membuat Jingga terseok-seok.
“Kau ini, Jingga, sudah sekolah tinggi-tinggi sampai
kuliah, kerjamu hanya pergi ke ladang,” ujar Bu Marni saat Jingga pergi menuju
ladang peninggalan ayahnya.
“Tak apa, Bu. Mungkin belum waktunya,” ujar Jingga
sembari menampakkan senyum getir di wajahnya.
Jingga begini bukan tanpa usaha. Ia sudah melamar
pekerjaan ke sana ke mari. Mendesain CV sedemikian rupa agar dilirik HRD. Lolos
tahap seleksi administrasi, tetapi tak ada kelanjutan setelah tahap wawancara.
Seleksi CPNS berkali-kali, tetapi ia
masih harus berjuang di tahun-tahun berikutnya. Mencoba berbisnis dengan
kawannya, ia makah kena tipu habis-habisan. Sudah modal habis, labanya entah ke
mana. Begitu saja siklus melamar pekerjaan yang ia alami.
Lalu, dengan tekun ia selalu merawat ladang pemberian
ayahnya. Ia tanami dengan berbagai tanaman dan menunggunya hingga berbuah.
Sesekali Mak Nining ikut membantunya ke ladang, tetapi seringnya Jingga pergi
sendirian. Ibunya sudah terlalu tua untuk mengurusi tanaman di ladang.
Mak Nining sebenarnya memiliki dua anak lainnya,
perempuan semua. Mereka selalu meminta ibunya untuk tinggal bersama di kota.
Menjanjikan kehidupan yang lebih baik dan tidak perlu capai-capai pergi ke
ladang. Namun, karena tak ingin berjauhan dengan hal-hal yang berhubungan
dengan suaminya, ia selalu menolak ajakan itu. Kedua anak perempuannya akhirnya
menyerah.
“Bang Jingga, apa Abang tidak ada keinginan untuk berumah
tangga?” tanya adiknya suatu sore saat kebetulan menengok ibu mereka.
“Kenapa kau bertanya seperti itu?”
“Barangkali dengan Abang punya istri dan menemani Emak di
sini, Emak tidak kesepian. Abang, kan, tahu kalau jarak rumahku ke sini lumayan
jauh. Jadi tidak memungkinkan untuk ke sini setiap hari.”
“Kan masih ada Abang, Dik. Abang selalu menyediakan apa
yang Emak butuhkan,” debat Jingga tak mau kalah.
Akhirnya percakapan itu berakhir mengambang. Selain
dituntut untuk segera memiliki pekerjaan yang dinilai pas oleh tetangga, Jingga
juga ternyata diminta segera menikah oleh adik dan kakak perempuannya. Maka,
bertambah lagi beban yang ada di dalam pikirannya.
Di tengah kesehariannya menemani Mak Nining dan mengurus
ladang, seorang teman lamanya mengubungi Jingga melalui Whatsapp. Singkat
ceritanya bahwa tanaman yang ditanam di ladang, apalagi jahe merah, bisa dijual
dengan harga yang melambung. Lalu, bekerjasamalah Jingga dan temannya itu untuk
kembali memulai bisnis.
Semenjak dipromosikan melalui berbagai media sosial dan
dijual melalui marketplaces, pendapatan Jingga melonjak drastis. Dari
hasil penjualan itu juga ia bisa membelikan keponakannya baju baru dan berbagai
mainan. Dilunasinya utang-utang yang dulu digunakan untuk menutupi kebutuhan
sehari-harinya.
“Mak, apa sekarang Jingga sudah bisa dibilang sukses?”
tanyanya suatu malam saat ia selesai makan malam dengan ibunya.
“Apakah standar sukses itu jika kau punya banyak uang,
Nak?”
“Tidak juga, sih, Mak. Tapi, setidaknya tetangga-tetangga
itu tidak lagi berbisik-bisik dengan omongan yang buruk saat aku berpapasan
dengan mereka.”
“Syukurlah kalau memang begitu keadaannya, Nak. Emak ikut
berbahagia.”
“Jingga janji, Mak, mimpi Emak untuk bisa ke tanah suci
bisa segera terwujud,” katanya sebagai penutup acara berbincang sore itu.
Lama waktu berlalu, kehidupannya kian membaik. Para
tetangga kini tak lagi berkomentar negatif kepadanya. Bahkan sebagian dari
mereka ada yang berani meminjam sejumlah uang kepadanya. Dengan ikhlas dan
tanpa berat hati, Jingga selalu memberinya. Entah akan dibayar atau tidak, ia
tidak mempermasalahkan. Asalkan kehidupannya damai dan tenteram, itu sudah
lebih dari hal yang cukup.
Banyak pula perempuan yang melakukan pendekatan, entah
kepadanya langsung atau kepada Mak Nining saat Jingga berada di luar kota.
Beragam cara telah banyak ditempuh, mulai dari mengirim makanan kesukaan hingga
memberi kerajinan tangan. Namun, tak ada satu pun yang menarik hati Jingga.
Tidak pernah ada.
“Sesekali kau temui saja mereka, Nak. Apa kau tidak
merasa kasihan?” ujar Mak Nining saat Jingga baru menyelesaikan salatnya.
“Kebahagiaanku sudah utuh hanya dengan memiliki Emak.
Jadi tak perlulah aku miliki perempuan yang lain.” Jingga mencium punggung
tangan Mak Nining dengan lembut. Kebahagiaan mengalir bersamaan dengan air mata
ibunya.
“Tak boleh begitu, Nak. Kau harus terus menjalani hidup.
Kau harus berumah tangga. Jangan terus memikirkan Emak,” debat Mak Nining tak
mau kalah. Jingga tercekat tak dapat menjawab apa-apa.
“O, ya, Ma. Insyaallah tahun depan kita sekeluarga akan
pergi ke Mekah.” Jingga mengalihkan pembicaraan.
“Maksudmu, adik, kakak, dan iparmu juga sudah didaftarkan?”
Mak Ning memastikan.
“Betul, Mak. Alhamdulillah penjualan kemarin dapat untung
yang banyak.”
Lalu, perbincangan malam itu berakhir dengan rasa bahagia
di hati Mak Nining. Sementara itu, kelegaan menghinggapi hati Jingga yang
mengetahui bahwa satu-persatu janjinya sudah bisa dipenuhi. Sesaat setelahnya Jingga terlelap,
mencoba melupakan segala rasa gundah dan gelisah yang tiba-tiba mengendap di
hatinya setelah mendengar Mak Nining menyinggung soal rumah tangga.
Suasana di bandara ramai sekali dipenuhi orang-orang yang
akan berangkat ke tanah suci. Ketua rombongan sedang memberikan arahan agar
rombongannya bisa saling bekerja sama, untuk kemudian berdoa bersama agar
selalu diberikan keselamatan.
Di dalam pesawat menuju tanah suci, Mak Nining tak
henti-hentinya menitikkan air mata. Sudah berlembar-lembar tisu ia gunakan
untuk mengusap air mata yang keluar. Namun, semakin diusap, semakin air matanya
menuntut untuk berhamburan. Dibukanya selembaran koran yang selalu ia bawa ke
mana-mana.
Dalam headline-nya tertulis dengan jelas, Kecelakaan
Beruntun di Jalan Tol Menewaskan 10 Orang, 2 Pengusaha Muda termasuk di
dalamnya. Setelah itu, tangis Mak Nining berubah menjadi senyum yang
mengembang. Anakku sudah bahagia di surga sana, seharusnya aku pun bahagia.
Nak, janjimu sudah kautepati dengan baik, maka tak perlu lagi kaurisaukan Emak
di sini. Lalu, Mak Nining terlelap untuk kemudian berdecak kagum karena
akhirnya ia bisa menapakkan kaki di tanah suci.
Endingnya yang tidak terduga
BalasHapusJingga tetap bahagia:)
HapusPosting Komentar